Kantor Kedua

Thursday, January 5, 2012

BUNDA

Selamat pagi semuanya...
Informasi mengenai cerita dibawah ini gw dapetin dari milis yang gw ikutin yaitu milis alumni FTP UGM, dan yang nulis ceritanya adalah Ve Handojo
Buat yang mau simak langsung di blognya Ve Handojo, silakan ke http://vehandojo.wordpress.com/2012/01/05/bunda/

Mau tak mau, suka tak suka, tulisan ini telah sedikit banyak menohok gw hehehehe... 
Karena gw jadi "ngaca" dan melihat diri sendiri, bahwa apa yang gw lakukan selama ini dalam menjalani role gw sebagai "Bunda" belum ada apa-apanya dibandingkan dengan Bunda yang ditulis oleh Ve Handojo ini.
So, buat tean-teman yang kebetulan membaca cerita berikut, baik kalian sebagai anak atau sebagai bunda juga, silakan direnungkan sendiri aja yah....


Bunda

“Dia itu bisa membuat miniatur mobil-mobil kami dari kertas karton. Kaca-kaca jendelanya ia buat dari plastik. Warnanya dibuat persis sama. Tidak ada petunjuk, tidak ada juga yang mengajari. Ia bahkan tidak pakai penggaris untuk menggambar polanya. Semua murni hasil kreativitasnya,” tutur Bunda dengan senyum bangga mengenai Abang.
Abang adalah anak kedua Bunda yang tahun ini usianya menginjak 41 tahun. Autisme membuat Abang berkelakuan selayaknya anak kecil yang enggan mengenakan baju saat sebelum dan sesudah mandi. Ia juga bisa menangis meraung-raung apabila ada satu dari sekian banyak koleksi sabun mandi batangannya yang hilang. “Karena dia orangnya apik,” Bunda menjelaskan. “Kamarnya sangat rapi dan teratur. Tidak ada yang boleh mengganggu gugat susunan barang di kamarnya selain dirinya sendiri. Baju dan celananya tersusun rapi.”
“Ia punya koleksi kaset-kaset rekaman dari penyanyi semacam Bimbo, Eddy Silitonga, Rafika Duri, dan lain-lain. Semua kaset itu ia cabut labelnya. Jadi, semuanya berwarna hitam. Tapi, ia bisa membedakan kaset-kaset itu satu sama lain. Kalau ia mau dengarkan Bimbo, ia tahu pasti mana kaset yang harus ia putar. Dan, ia ingat betul jumlahnya. Kalau ada yang hilang satu, ia akan membongkar seluruh rumah dan mencarinya hingga ketemu,” lanjut Bunda.
Istimewanya lagi, pernah Abang mendapatkan satu kotak puzzle yang terdiri dari 1.500 keping. Kepingan-kepingan itu akan menyusun sebuah lukisan abstrak. Permainan puzzle bertingkat kesulitan amat tinggi itu dapat diselesaikan Abang dalam waktu beberapa jam saja. “Kalau puzzle lain yang bergambar pemandangan, bangunan, atau apa saja yang bukan abstrak bisa diselesaikan oleh Abang dalam waktu kurang dari satu jam.”
Abang bukanlah satu-satunya anak Bunda yang autis. Si Bungsu yang berusia 27 tahun beda lagi. “Ia bisa Bahasa Inggris, mahir komputer, jago main piano, dan banyak temannya. Waktu masuk Sekolah Luar Biasa dulu, Bungsu itu bagaikan raja. Kalau ia tiba di sekolah, teman-temannya langsung berbaris menyambutnya,” Bunda tertawa kecil mengenang masa kecil Bungsu.
Sore itu, Bunda memanggil Bungsu dan mengenalkannya ke saya. Berbeda dengan Abang yang tidak berkomunikasi secara verbal dengan jelas serta cenderung menutup diri, Bungsu dengan ramah menyalami saya, lantas dengan penuh semangat mengoceh tentang computer game yang sedang ia gandrungi. “Jump Boy! Jump Boy!” katanya.
“Kalau Bungsu dibelikan software atau game baru, ia bisa meng-install-nya sendiri, dan bisa belajar main game tersebut tanpa dibantu orang lain,” tutur Bunda. “Malah ia pernah menggabung-gabungkan gambar di komputer dan memadukannya dengan lagu sehingga jadi semacam video klip!”
Setiap pagi, Abang mengatur kegiatan mandi buat seluruh keluarga. Ia akan memasak air panas. Ia bahkan menentukan pakaian apa saja yang harus dikenakan oleh seluruh anggota keluarganya – mulai dari atasan, bawahan, sampai pakaian dalam. Bunda akan mengikuti aturan main Abang ini. Yang sering menolak adalah Bungsu. Kalau Bungsu sudah enggan memakai baju yang dipilihkan oleh Abang, maka Abang akan duduk di dalam kamarnya, membuat keributan sendiri. Ketika Abang ribut, Bungsu akan sebal, marah, dan bahkan bisa menyerang Abang secara fisik.
“Itu sebabnya harus selalu ada yang menjaga mereka di rumah. Kalau saya pergi ke pasar untuk belanja, misalnya, maka saya harus memastikan bahwa ada orang di rumah yang menjaganya. Entah kakaknya, entah satpam, atau pembantu,” kisah Bunda.
Suami Bunda sendiri sudah delapan bulan terakhir ini hanya bisa terbaring di ranjangnya akibat terpaan alzheimer dan Parkinson yang sudah memuncak. Satu orang putra Bunda yang lain menikah dan tidak tinggal di rumah keluarga itu. Ada satu orang putra lain yang masih tinggal bersama dan membantu Bunda menjaga Abang dan Bungsu. Jadi, anak Bunda ada empat?
“Seharusnya ada lima,” kisah Bunda. “Anak saya yang pertama itu perempuan. Kakaknya Abang. Namun, ia lahir dengan membawa kondisi rapuh tulang. Kalsiumnya larut dalam urine-nya. Pada saat itu, ia adalah satu dari tiga orang saja di Indonesia yang mengidap kondisi tersebut. Setiap kali ia batuk, tulang iganya patah. Sendi-sendi tangannya pun rontok. Saya sudah keluar masuk rumah sakit dan ruang operasi untuk menungguinya dirawat dan diteliti. Saya sama sekali tidak mau berpisah dengannya. Sampai akhirnya ia meninggal di usia sembilan tahun.” Air mata Bunda mulai mengembang ketika ia bergumam, “Seharusnya tahun ini usianya empat puluh tiga.”
Di sekitar tahun 1968 hingga awal 1970 tersebut, masyarakat belum paham betul tentang autisme. Bunda berjuang merawat anak-anaknya sambil mendengar selentingan sana-sini bahwa kondisi mereka itu merupakan sebuah “hukuman karma”. Ditambah lagi suami Bunda mengalami depresi berat karena banyak ditipu orang dalam bisnisnya.
Kalau saya sekedar mendengar kisah ini lewat penuturan orang saja mungkin saya akan menganggap kisah ini dilebihlebihkan. Mana mungkin ada seorang ibu yang sekuat dan setabah Bunda. Namun, Bunda yang menerima saya di rumahnya kemarin sore itu adalah nyata. Tidak ada sedikit pun kesan bahwa hidupnya menderita. Bunda merawat anak-anaknya dengan telaten. “Abang itu pintar memasak juga,” katanya dengan semakin bangga. “Kalau goreng telur, jadinya enak sekali! Setiap kali saya pergi ke pasar atau supermarket, Abang pasti menuliskan titipan belanjaan – baik buat ia memasak atau membersihkan.”
Bunda pun menunjukkan setumpuk kertas yang dipotong dalam ukuran yang seragam. Kertas-kertas itu ditulisi huruf-huruf kapital. “MAMA, ABANG MINTA [merk sabun], [merk shampoo], TELUR, SABUN CUCI TANGAN SEBELUM MAKAN. TERIMA KASIH.” Barang-barang pesanan tersebut berbeda-beda di setiap kertas. Namun, Abang senantiasa mengawalinya dengan “MAMA” dan mengakhirinya dengan “TERIMA KASIH”.
Seumur hidup, saya tidak pernah menyaksikan kisah nyata tentang cinta yang lebih dahsyat dari ini.


Untuk Ibuku tercinta, I love you so much. God Bless You  
*sambil mewek hiks hiks

No comments:

Post a Comment